TANTANGAN KELUARGA
Tema : Keluarga Yang Menang Dalam Pencobaan
Oleh : Ev. Eddy Tatimu

A. PERMASALAHAN

1. Krisis Keluarga

Bulan Mei 1995 dalam konferensi tahunan dari The American Psychiatric Association (APA) di Miami 1995, ada sebuah lokakarya bertema "Family Crisis".  Hasil dari sebuah penelitian menyebutkan bahwa dalam 30 tahun terakhir, 60 % keluarga di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian, dan 70 % dari anak-anaknya tidak berkembang dengan baik, berperilaku menyimpang atau antisosial.  Misalnya terlibat kenakalan remaja, penyalahgunaan NAZA (narkoba, alkohol, dan zat adiktif lainnya), pergaulan bebas, perilaku seksual menyimpang dan sebagainya.  Juga dikemukakan bahwa angka perceraian semakin meningkat, pernikahan semakin menurun karena banyak orang memilih hidup bersama tanpa nikah atau hidup lajang dan pergaulan bebas (free sex).  Ketidaksetiaan (penyelewengan) di kalangan keluarga-keluarga di AS ternyata bukan monopoli para suami saja, melainkan 40 % dari para isteri di sana juga terlibat affair dengan pihak ketiga.  Dari lima perkawinan dalam lima tahun pertama terjadi tiga perceraian.

Lynn Heitritter dan Jeanette Vought dalam bukunya mengutip pernyataan Virginia Satir mengenai kesulitan-kesulitan umum yang terjadi dalam keluarga bermasalah.  Biasanya kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan : harga diri, komunikasi, sistem keluarga, dan hubungan dengan masyarakat.  Jika salah satu dari keempat aspek ini tidak terpenuhi atau mengalami gangguan, maka dapat dipastikan masalah dalam keluarga akan bermunculan.

2. Generasi dalam Ancaman Kehancuran

Bulan Mei 1992 di Washington D.C. dalam konferensi tahunan The American Psychiatric Association (APA), ada sebuah lokakarya bertema "Generation in Jeopardy".  Dalam lokakarya itu digambarkan betapa perilaku seksual remaja-remaja di AS sudah amat mengkhawatirkan, khususnya penyebaran penyakit kelamin AIDS.

Bagaimana dengan kasus di Indonesia?  Juga sangat memprihatinkan.  Terjadi kemunduran yang menimpa anak remaja, artinya meningkatnya jumlah mereka yang merokok, menggunakan narkoba, melakukan pelanggaran-pelanggaran seksual dan pornografi, perkelahian dan sebagainya.  Data-data yang cukup memprihatinkan misalnya menurut survey Social Ekonomi : tahun 1995, 23% dari penduduk yang berusia 10 tahun ke atas mempunyai kebiasaan merokok.  Lebih dari 50% memulainya pada usia 15-19 tahun.  Juga tahun 1998 hasil survey Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok menyatakan bahwa 59% laki-laki dan 4,8% perempuan usia 10 tahun ke atas "sekarang perokok", minimal sebatang sehari selama minimal 3 bulan.

Selain masalah di atas, anak-anak remaja juga rentan akan pelanggaran seksual dan pornografi, selain menjadi korban perkosaan.  Juga tentang perkelahian pelajar kian meningkat saja kualitas maupun kwantitasnya.

2.1  Penolakan Pada Masa Kandungan

Janin sudah memiliki identitas sendiri dan dapat menerima masukan dari luar.  Ibu-ibu pada masa hamil menerima kehamilan itu dengan perasaan berat dan tidak menerima kehadiran bayi mereka dengan sukacita, maka bayi itu akan lahir dengan perasaan tertolak.  Ada seorang ibu muda yang tidak mengharapkan kelahiran anak keduanya karena jarak kelahiran yang terlalu dekat dengan putra sulungnya.  Selain itu, ia sedang berada di negara lain menemani suaminya yang mengambil studi lanjut.  Ia memang tidak berupaya menggugurkan kandungannya, namun ia sempat bersungut-sungut dan menolak kehamilannya.  Ketika lahir, anak itu menangis menjerit-jerit dengan keras tanpa alasan, setiap tengah malam selama beberapa bulan.  Setelah ia mendengar berita tentang dampak penolakan semasa hamil, bersama suaminya, ia datang kepada Tuhan dan memohon pengampunan serta mendoakan anak mereka.  Sejak saat itu, anaknya tidak pernah lagi menangis menjerit-jerit setiap tengah malam.

2.2  Penolakan Pada Masa Balita

Masa balita adalah masa yang paling rawan dan menentukan dalam pembentukan kepribadian manusia.  Yang paling penting diperhatikan pada masa anak mulai memasyarakat adalah hubungan batin yang dibina dengan ibu kandungnya.  Wanita yang paling dekat dengannya akan dianggap sebagai ibu, karena ia belum dapat membedakan hubungan keluarga secara biologis.  Itu sebabnya jika sang ibu lebih memperhatikan karir dan tidak memberi perhatian dan kasih yang cukup kepada anaknya pada masa ini, kelak saat sudah dewasa, anaknya tidak merasa bertanggung jawab untuk memperhatikan dan merawat orang tuanya yang telah lanjut usia.

Penolakan juga dapat dirasakan apabila :
- Sejak kecil dipisahkan dari orang tua dan dititipkan kepada kakek nenek, paman bibi atau saudara lainnya
- Orang tua bersikap membeda-bedakan anak-anaknya
- Sikap saudara-saudara kandung dalam keluarga yang meremehkan harga dirinya.

2.3  Penolakan Pada Masa Remaja

Pengaruh terbesar pada masa remaja bukan lagi orang tua mereka, tapi lingkungan teman-teman sebaya.  Seringkali apa yang dikatakan teman-teman jauh lebih penting daripada apa yang dikatakan orang tua atau guru mereka.  Demi memperoleh pengakuan dari kelompok, tidak jarang para remaja memberontak dari orang tua mereka dan melakukan tindakan yang tidak senonoh dan amoral.  Konsep dirinya sangat tergantung dari penilaian kelompoknya.

Penolakan oleh kelompok dapat meninggalkan luka yang dalam.  Olok-olok atau hinaan sehubungan dengan penampilan jasmani yang kurang sempurna atau dalam hal prestasi, dapat pula menyebabkan rasa tertolak.

 

B.  TEORI DASAR

Seorang yang mengalami luka batin akan mengalami dampak secara psikologis, fisiologis, sosiologis maupun teologis.

Secara psikologis, seorang yang mengalami luka batin pasti terganggu perasaannya.  Jika luka batin yang dialaminya terutama disebabkan oleh peristiwa traumatis, maka ia akan merasa malu, rendah diri dan tidak berharga.  

Gangguan secara fisiologis yang dialami seseorang karena luka batin sering kali disebut psychosomatic atau psychophysiological reaction, yaitu gangguan kejiwaan yang menggejala secara badani sebagai gangguan tubuh.  Reaksi fisik terhadap perasaan gelisah biasanya berbentuk gangguan pencernaan, sakit kepala, gatal-gatal pada kulit, sakit pingggang dan lain-lain.

Dampak luka batin yang ketiga adalah sosiologis.  Sebagai makhluk sosial, pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan sosial untuk menjadi bagian integral dari lingkungannya.  Ia cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungannya.  Namun, bagi orang yang mengalami luka batin yang parah, ia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik dalam keluarga, pekerjaan, gereja, maupun lingkungan sosial lainnya.

Dampak luka batin berikutnya adalah secara teologis.  Hal yang pertama adalah berdampak pada pengenalan seseorang terhadap Tuhan.  Seseorang yang mempunyai pengalaman traumatis memandang Tuhan sebagai Allah yang tidak adil dan membiarkan dirinya mengalami segala peristiwa yang menyakitkan.  

 

C.  PEMECAHANNYA

1.  Kembali ke Keluarga

Kembali ke keluarga adalah solusi yang terbaik yang sangat ampuh untuk meredam aneka kebobrokan yang ada dalam masyarakat.  Karena di dalam keluarga tersimpan potensi yang sangat luar biasa dan peran orang tua sangatlah dominan dalam mengoptimalkan potensi tersebut.  Sesungguhnya orang tua adalah yang awal dan yang utama bagi anak-anak.

Allah menjadikan kepada kita sebagai orang tua untuk membangun kehidupan anak-anak melalui komunikasi percakapan yang sangat besar manfaatnya dalam membangun sifat anak.  Sebagai orang tua kita harus memupuk kebiasaan berbicara dengan anak-anak sebagai komunikasi dua arah.  Tugas orang tua bukan hanya mengawasi melainkan melayani harapan anak-anak yang sedang berkembang untuk kemuliaan Allah.  Membangun kehidupan bukan merupakan satu bagian terpisah dari tugas menjadi orang tua, melainkan suatu yang dilakukan orang tua harus merupakan bagian dan proses membangun kehidupan anak-anak, karena tujuan pokoknya adalah menyelamatkan jiwa anak-anak tersebut.

2.  Komunikasi sebagai Dasar Persahabatan yang Dinamis

Komunikasi ini merupakan suatu percakapan pribadi ke pribadi sangat menolong anak menemukan jati dirinya, karena mereka langsung merasakan dialog dengan orang tua.  Jadi, keluarga tidak menghilangkan jurang pemisah anak dan orang tua.  Anak menjadi merasa aman, dapat mengembangkan jati diri yang sehat dan tidak asosial.

3.  Komitmen

Guna membina komunikasi yang baik antara keluarga dengan anak-anaknya membutuhkan komitmen keluarga yang teguh.  Komitmen keluarga terhadap anak-anaknya berarti adanya pengakuan keluarga terhadap anak-anaknya, "kalian adalah anak-anakku!"  Ungkapan ini memberikan kepada mereka suatu perasaan aman, berharga dan rasa dimiliki.  

4.  Mengenal Anak

Dalam pergaulan antara sesama manusia terdapat pepatah yang menyatakan, "tidak kenal maka tak sayang."  Pepatah  ini menyatakan bagaimana kita bisa menyayangi seseorang jika kita belum mengenalnya dengan baik.  Demikian halnya dengan hubungan kita dengan anak-anak kita.  Keluarga yang telah hidup bertahun-tahun belum tentu mengenal pribadi dan kehidupan anaknya dengan baik.  Pengenalan keluarga terhadap anak-anaknya bukan hanya mengetahui nama anaknya, tetapi juga menyangkut seluruh pribadi anaknya, baik itu hobi, kesukaan, kelebihan ataupun kekurangnnya.

5.  Konsistensi

Konsistensi orang tua terhadap anak-anaknya meliputi : konsistensi dalam pribadi, tingkah laku, janji, dan waktu.  Konsistensi pribadi mencakup menguasai suasana hati.  Orang tua yang konsisten pribadinya tidak akan menunjukkan kemarahan dalam satu menit dan kasih sayang dalam menit berikutnya tanpa alasan bagi suasana hati yang berubah.

Di samping itu, orang tua juga harus konsisten dalam setiap janji-janjinya.  Orang tua seharusnya menghindarkan dirinya dari janji-janji gombal yang tidak terpenuhi terhadap anak-anaknya karena hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan, kewibawaannya sebagai orang tua atas anak-anaknya.

6.  Keluarga dan Lingkungan

Jadi, jelas bahwa faktor utama yang sangat mempengaruhi kepribadian anak adalah lingkungan keluarga.  Oleh sebab itu lingkungan keluarga harus dikondisikan agar kondusif terhadap proses perkembangan dan pertumbuhan anak.  Kontak jasmani, kelembutan, asuhan yang tulus perhatian yang sungguh-sungguh sangat menolong kehidupan anak-anak.

Terhadap para orang tua modern dengan proses globalisasi tampaknya semakin menghilangkan kehangatan hubungan antara pribadi di tengah keluarga.  Ayah dan ibu semakin sibuk mengejar materi, anak-anaknya pun sibuk dengan urusannya. Hubungan suami-isteri, ayah ibu dan anak semakin lama semakin longgar dan makin lama makin menghilang.

7.  Membangun Keluarga

Sesungguhnya orang tua sangatlah berkesempatan untuk mempengaruhi kecerdasan (intelektual, emosional, moral, sosial dan spiritual) anak.  Sesungguhnya peran orang tualah yang sangat mungkin mengajarkan aneka kecerdasan tersebut.  Selaras dengan waktu dan masa peka anak.  Sesungguhnya orang tualah menjadi tempat belajar bagi mereka.  Bukankah seharusnya orang tualah yang paling tahu saat dan cara belajar yang paling tepat bagi anaknya.  Sehingga, lembaga keluarga merupakan pendidikan yang pertama bagi pembelajaran emosi.

8.  Jadi Teman Baginya

Orang tua harus menjadi sahabat anak yang paling baik. Jika orang tua memperkuat dasar persahabatan maka kepercayaan anak terhadap orang tua sangat tinggi apalagi kalau dibina secara konsisten.  Kasih berbagai rasa (bercerita mengenai isi hati), keterlibatan dan keberpihakan kepada mereka dalam segala sesuatu.  Dan hal ini akan menghilangkan segala akar pahit di dalam berkomunikasi.

9.  Keteladanan 

Kristus menjadi teladan kita orang tua dan kita juga sedang menjadi teladan bagi kebutuhan anak kita.  Seorang anak membangun kepribadiannya selalu berusaha mencari teladan untuk diteladani dalam membentuk kepribadiannya.  Dan sifat-sifat yang diajarkan oleh orang tua adalah teladan yang baik bagi anak.  Biasanya orang tua bagi anak adalah pahlawan.  Perilaku orang tua dijadikan ukuran bagi anak-anak untuk mencari sifat-sifat anak.

10.  Disiplin Keluarga

Minggoes Tahitu dan Diana melakukan 3 aturan dosa yang harus dipatuhi oleh anak-anak mereka.  Pertama, ada hal yang tidak boleh sama sekali dilakukan, misalnya menginap dirumah teman alasannya pulang terlambat.  Kedua, boleh dengan ijin, misalnya nonton, ke mall tapi dengan ijin.  Ketiga, ada hal-hal yang harus dijelaskan dari mana saja atau ke mana saja.  Hal tersebut ditanamkan sudah sejak kecil kepada mereka sehingga meskipun saat ini mereka jauh (hidup di AS) mereka tetap bisa mengontrol diri.  Mereka tidak berani melanggarnya karena sudah ditanamkan sejak kecil.  Mendisiplinkan anak kita merupakan hal yang penting sebagai latihan bagi anak-anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari dengan tujuan dan hasil yang sangat luar biasa bagi bimbingan yang berskala luas melalui kehidupan yang teratur.

11.  Perlengkapan Rohani

Guna memperhatikan dan memenuhi kebutuhan rohani anak-anak,  kita terlebih dahulu harus memperlengkapi diri kita dengan bekal rohani yang cukup memadai.  Hal ini dapat tercapai apabila kita bertumbuh dalam iman dan kedewasaan sebagai seorang yang percaya kepada Yesus Kristus.  Selain itu, keluarga juga harus melibatkan Allah Roh Kudus baik di dalam kehidupannya pribadi maupun kebersamaannya dengan anak-anak, karena roh Kudus adalah Penolong yang akan menyertai kita selama-lamanya... dan akan mengajarkan segala sesuatu... dan mengingatkan.... akan semua yang telah Yesus katakan (Yoh 14:16,26).

Keluarga bersama anggotanya dapat berdoa bersama-sama, membaca dan belajar Alkitab bersama, memuji dan menyembah Tuhan bersama-sama.

12.  Saat Teduh

Saat teduh keluarga sangat diperlukan dan dijadikan suatu kebiasaan yang menyenangkan.   Sesuaikan saat teduh itu sehingga dapat diikuti oleh anak-anak.  Tidak terlalu panjang dan bertele-tele, tetapi mengena pada kehidupan sekeluarga sehari-hari.  Saat teduh yang dilakukan dijadikan kebutuhan bersama.  Tanyakan keperluan anak bahwa apa yang perlu didoakan, dan apa yang akan dilakukannya.  Kalau anak dapat melakukannya maka hasilnya pasti akan dinikmati oleh anak-anak kita untuk kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari.

 

D.  KESIMPULAN

Ketika Allah merancang pernikahan, memberikan perintah untuk memenuhi bumi, dan tetap mempertahankan pernikahan sebagai hubungan yang berlangsung seumur hidup.  Dia tidak membiarkan kita berusaha sendiri untuk membangun keluarga.  Dalam Alkitab Dia memberitahukan kita bagaimana membangun pernikahan yang harmonis.  Ada 4 fondasi yang dianjurkan Allah melalui firmnaNya (Alkitab) untuk kita pelajari dan pahami bagaimana membangun rumah tangga agar "berhasil" sesuai dengan rencana Allah.

Adapun fondasi itu adalah : komitmen seumur hidup, membagi hidup, kesetiaan mutlak dan peran yang jelas.

Dasar fondasi ke-1 : Komitmen Seumur Hidup (Matius 19:4-6)
Ketika anda sudah bulat untuk mengambil ia sebagai suami/isteri anda maka anda sudah memutuskan untuk komitmen dengannya seumur hidup saudara.  Karena itu pikirkanlah secara cermat jangan emosi ataupun hanya terpikat karena wajah yang pampan/cantik, keuangan yang mapan, ataupun alasan lainnya.

Dasar fondasi ke-2 : Membagi Hidup (Kejadian 2:18-25)
Ingat anda berdua bukan lagi dua melainkan menjadi satu.  Jangan sekali kali punya konsep anda dua (suami dan isteri) sehingga tidak bisa bersatu akibatnya dibagi mana suami mana isteri punya! No way.  Anda berdua adalah sama satu bagian dan satu kesatuan.

Dasar fondasi ke-3 : Kesetiaan Mutlak 
Pernikahan bukan berarti hanya komitmen untuk hidup bersama sampai mati, tetapi juga berarti dipanggil untuk SETIA secara total dalam bagiannya sebagai suami atau isteri.  Kesetiaan ini juga dimaksud dalam konteks seksual.  Paulus mengajarkan kepada Titus bahwa hidup berkeluarga harus bijaksana dan suci (Titus 2:4-5).  Penyelewengan (dalam arti yang luas baik seksual maupun lainnya) dalam keluarga sangat ditentang dalam Alkitab, baik dari sisi PL maupun PB.

Dasar fondasi ke-4 : Peran yang Jelas
Peran suami dan isteri harus jelas dalam keluarga supaya tidak saling menyalahkan satu sama lain.  Alkitab menulis secara jelas peran pria dan wanita dalam keluarga sebagai berikut :

Peran suami : 
Baca Efesus 5:23, 25, 28; I Kor 11:13; Kolose 3:19; I Petrus 3:7
Dapat dirangkum bahwa peran suami adalah : mengasihi isteri, mengikuti teladan Kristus, bijaksana, tidak kasar, mengasihi isteri seperti dirinya sendiri, menjaga / melindungi / memelihara isteri.

Suami ditunjuk sebagai kepala bukan berarti ia harus unggul dari isteri, juga bukan berarti mau seenaknya mengatur.  Sebagaimana Kristus memerintahkan jemaat sebagai mana Kristus menjadi kepala gereja begitulah perintah dan penguasaan yang dimaksud.  Kristus tidak menghukum untuk mereka yang menolaknya melainkan tetap mengasihi sampai pada saat penghukuman tiba.  Kepemimpinan suami adalah kepemimpinan fungsional, yang berarti adanya tanggungjawab suami untuk mengasih, memahami, dan menghormati kepemimpinan Allah.

Peran isteri :
Baca Efesus 5:22, 23; Kolose 3:18; I Petrus 3:1; Titus 2:4-5
Tunduk pada suami merupakan peran yang harus dilakukan oleh para isteri.  Seberapa jauh ketundukkannya kepada suami? ini yang sering dipertanyakan oleh banyak orang.  Masihkah isteri harus tunduk jika suami tidak mengasihi?, masihkah isteri harus tunduk jika suami menyeleweng? dan masih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan itu.  Alkitab hanya menjelaskan secara jelas isteri tunduk kepada suami.  Dan ini adalah "mutlak".  Itu sebabnya perlu pengamatan secara jelas pada para pasangan suami dan isteri apakah ini memang calon yang diberikan oleh Tuhan? kalau ya maka ia akan langgeng sampai maut memisahkan kita berdua.  Bagaimana jika terjadi perceraian apakah itu berarti bukan kehendaknya?  sekali lagi perceraian adalah kebencian bagi Tuhan, itu sebabnya hindari kata ini dalam kamus keluarga anda.

 

E.  PENUTUP

Melihat anak-anak tumbuh menjadi sahabat-sahabat kita merupakan sebuah kesukaan sejati bagi kita sebagai orang tua.  Kesukaan ini dapat dinikmati bila kita berusaha membangun kehidupan keluarga yang harmonis.  Keluarga yang harmonis dapat terjalin dengan dinamis jika kita mendasarkan bangunan keluarga kita di atas dasar spiritualitas yang kuat disertai dengan jalianan komunikasi yang baik antara kita dengan anak-anak kita.

Haleluyah !  Puji Tuhan !

(Disarikan dari bahan seminar rohani di GPdI Maranatha Medan, Sabtu 7 Desember 2002)


GPdI Maranatha Medan