SIKAP DAN PERAN GEREJA TERHADAP PEMILU
Oleh Pdt. DR. Markus D. Wakkary

 

BOLEHKAH GEREJA BERPOLITIK?
Ketika kita membicarakan Pemilu, atau tentang kondisi negara sebagai produk Pemilu, mau tidak mau kita ngomong politik. Dan tak pernah habis-habisnya – di kalangan gereja – diperdebatkan apakah Gereja perlu ikut campur dalam soal politik, dalam pemilu dan dalam kekuasaan duniawi, atau tidak sama sekali. Atau juga boleh tetapi sedikit-sedikit, hanya nyerempet saja.

Pada pengalaman saya, di lingkungan gereja-gereja Pentakosta di Indonesia, pandangan agar orang-orang gereja menjauhi politik cukup vokal. Politik itu duniawi. Dengan mengutip Yakobus 4:4, “…bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah”, mereka mengkategori politik dan kekuasaan politik adalah unsur yang sangat duniawi, sehingga tak perlu didekati. Dari kelompok ini muncul penulis-penulis seperti Hal Lindsey, yang mengatakan :  “The world-system is the organised system of world attitudes that exludes God’s way and is under Satan’s control. To be a friend of this system in the sense of compromising God’s view point of life and letting the world squeese you into it’s mold is to commit adultery, spiritually speaking”1

Namun lebih banyak yang berwawasan luas. Mirip dengan pandangan Carl F.H. Henry, yang menulis :

“THE CHURCH MISSION IN THE WORLD IS SPIRITUAL. Its influence on the political order, therefore, must be fegistered indirectly, as by-product of spiritual conserns. The Church as an organized movement must not allow its own energies to deteriorate into direct political activity, but must encourage its individual members to fulfill their political duties as a spiritual responsitility.”2

Saya berpendapat Gereja perlu memiliki sikap dan mengambil peran dalam negara dan bangsa melalui Pemilu.

 

GEREJA GARAM DUNIA
Yesus berkata : “Kamu adalah garam dunia.” (Matius 5:13). Pernyataan Yesus ini bernada imperatif. Terjemahan NEB berbunyi : “You are salt to the world.” (Kamu adalah garam kepada dunia).

Kegunaan garam pada misalnya makanan, adalah daya pengaruhnya yang sanggup mengubah citra rasa. Garam melarut, tak nampak, tetapi pengaruhnya sangat terasa. Dalam kancah sosial, politik, ekonomi, dll. Gereja harus melakukan keberdayaannya sebagai “garam”.

Kita sebagai gereja mungkin “tidak besar” dalam artian kuantitas di Indonesia, tapi kualitas iman, kasih, karakter, intelektual yang solid harus mampu mempengaruhi kondisi Indonesia baik dalam pemilu maupun pada pasca pemilu.

Sikap positif, konstruktif, dinamis dan kritis gereja terhadap pemilu, acapkali dikuatirkan akan melarutkan bahkan boleh jadi menenggelamkan gereja ke dalam arus pergolakan politik yang penuh bahaya. Namun apabila kita benar-benar memiliki kualitas “garamnya Kristus”, kita tidak akan pernah kehilangan jatidiri visi dan misi Kristiani, sebab secara ilmiah dibuktikan bahwa garam tidak akan pernah kehilangan rasa keasinannya.

Penelitian membuktikan bahwa Sodium Klorida adalah molekul kimia yang paling stabil --- dimakan atau menjadi keringat atau jatuh ke tanah atau ke air --- garam tetap garam. Garam dapur --- Natrium Klorida (NaCI), kalau menjadi makanan, lalu dimakan, atau menjadi keringat atau dicampur dengan lain elemen, tetap NaCI. Boleh disebut NaCI adalah molekul abadi. Itulah sebabnya dalam Bilangan 18:19 tertulis : “Suatu perjanjian garam untuk selama-lamanya…”.

Peran kita dalam segala situasi dan kondisi di negara dan bangsa Indonesia, adalah menjadi garam dalam semua dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

GUNAKAN HAK KEWARGANEGARAAN
Memilih dalam pemilu mendatang adalah hak kita, bukan kewajiban. Jadi, boleh kita menggunakan hak pilih kita, boleh juga tidak.

Saya berpendapat seperti Rsul Paulus. “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang…” (I Korintus 15:10). Kebanyakan kita sebagai umat Kristiani di bumi Indonesia adalah anugrah Allah, termasuk hak-hak kita. Karena itu, kita bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menggunakan semua berkat yang Tuhan karuniakan kepada kita, termasuk anugerah menjadi warga negara Indonesia.

Tuhan yang telah menempatkan kita di bumi Indonesia.

Jadi masalahnya bukan ia atau tidak menggunakan hak pilih kita, tetapi tanggung jawab kita sebagai garam dunia.

Kita harus memilih satu dari sekian banyak tanda gambar dan foto para caleg, pada Pemilu 2004, atas dasar tanggung jawab kita baik vertikal kepada Tuhan maupun horisontal kepada negara selaku warga negara.

Kita harap Pemilu dapat berlangsung demokratis, adil, rukun, jujur, bebas tanpa tekanan dan produknya diterima dan dipercaya.  Di negeri kita dikenal istilah “luber” dan “jurdil”.

Sikap positif gereja dalam menghadapi Pemilu ialah sikap yang mendorong warga jemaat yang juga warganegara untuk menggunakan hak pilihnya.

Lalu partai apa dan siapa yang akan kita pilih, serta apakah gereja merekomendasikan suatu parpol tertentu?

Hal ini selalu ditanyakan. Apalagi dalam Pemilu akan terjun begitu banyak parpol, termasuk belasan parpol yang dipimpin oleh orang-orang Kristen.

Gereja sebagai organisme illahi tidak dapat disejajarkan dengan suatu institusi dunia. Gereja bukan lembaga politik. Gereja yang mempersekutukan orang-orang percaya dari berbagai latar belakang termasuk politik berdiri di atas keanekaragaman partai politik.

Karena itu gereja harus tidak tergoda dan terperangkap ke dalam tawaran atau kepentingan suatu partai politik tertentu.

Gereja dapat mendukung dalam sokongan moral dan spiritual kepada calon-calon yang terjun dalam Pemilu.

Gereja tidak boleh melakukan deal politik dengan parpol-parpol karena pasti akan terperangkap kepada kepentingan-kepentingan.

 

BOLEHKAH HAMBA TUHAN BERPOLITIK?
Bolehkah hamba Tuhan terjun dalam politik praktis, atau bolehkah Pendeta jadi pemimpin partai politik, atau bolehkah para Pendeta menjadi anggota DPR, DPRD atau DPD?

Pertanyaan ini menarik, dan dapat menimbulkan pandangan yang pro-kontra tergantung dari pandangan teologis dari mana kita bertolak. Karena itu yang terbaik kita mengkaji dalam perspektif firman Allah.

Para hamba Tuhan, khususnya lima jawatan : Rasul, Nabi, Penginjil, Gembala dan Pengajar serta jawatan dalam jemaat-jemaat lokal : Penilik Jemaat dan Penatua-Penatua, adalah suatu jabatan menurut panggilan dan penetapan Tuhan (Efesus 5:11, KPR 20:28). Status dan posisi hamba Tuhan bukan hasil suatu proses demokrasi atau birokrasi, melainkan karena pengangkatan secara teokrasi.

Karena itu status hamba-hamba Tuhan yang seumur hidup sangat luhur nilainya, tidak dapat dibandingkan dengan jabatan sekuler yang musiman. Hamba Tuhan bukan dipilih manusia tetapi panggilan Tuhan. Seorang hambaTuhan yang menyadari posisi dan martabatnya yang mulia itu, tidak akan tergoda pada jabatan yang dipilih atau diangkat oleh manusia.

Apabila seorang pelayan Tuhan full-timer memilih terjun ke gelanggang politik praktis, ia sebaiknya meninggalkan jabatan gereja. Jangan ia merangkap. Sebagai contoh : seorang gembala sidang jemaat yang aktif memimpin suatu parpol sebaiknya menyerahkan tugas gembala sidang kepada hamba Tuhan lain dulu.

Joel C. Hunter menulis dalam bukunya “Prayer, Politics & Power” : GOD IS SOVEREIGN

Christianity also has a unique view of history. God in Christ stands at the end of history in general. No. matter one’s particular aschatology may be, not many Christians would dispute these two facts disclosed in Scripture, is one who designed history for a purpose and is active in history……………………………………………………………………………..

We can clearly state to the world that God is in control”.3

Persepsi Hunter adalah Teologis Alkitabiah. Allah kita adalah Tuhan atas sejarah Dunia, dan Ia memegang kendali perjalanan sejarah.

Pemerintah hasil Pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan langsung, bebas rahasia, tentunya adalah Pemerintah yang legitimate. Kita harus menerimanya, walaupun hasilnya tidak sesuai kehendak kita.

Posisi gereja terhadap pemerintah, saya petik dari kebenaran Alkitabiah, yaitu sebagai berikut: TIDAK ADA PEMERINTAH, TANPA KEHENDAK TUHAN.

(Daniel 4:32, Daniel 2:21, Roma 13:1).

Kita harus sadar betul, bahwa Allah berdaulat atas segala pemerintahan di semua negara di planet bumi ini, termasuk Indonesia.

Karena itu kita harus bersikap positif, bahwa Allah tidak pernah keliru dalam agendaNya untuk umatNya di Indonesia. (Roma 8:28).

Sikap dan peran gereja dalam Indonesia Baru hasil Pemilu 2004 dalam pikiran saya adalah sebagai berikut :

  1. Kita harus selalu MENDOAKAN. (I Timotius 2:1-2)
    Hal-hal yang sangat krusial, kita bawa dalam doa dan puasa. (Matius 17:21). Berdoa untuk negeri kita acapkali harus disertai pertobatan. (II Tawarikh 7:14).

  2. Kita tidak boleh berkompromi, dan tegas pendirian dalam hal “Ibadah kepada Tuhan”. (Daniel 3:16-17).

  3. Kita harus berani menyampaikan aspirasi kebenaran dan keadilan kepada Pemerintah, DPR, DPD, MPR, dll. (Ester 5,6).

  4. Kita wajib tampil dengan suara kenabian yang mengkoreksi apabila Pemerintah bersalah. (II Samuel 12:1-12).

  5. Kita harus belajar tunduk dan taat kepada Pemerintah yang menjadi hamba Allah (Roma 13:1-5, I Petrus 2:13).

  6. Kita harus menghormati Kepala Negara. (I Petrus 2:17, Roam 13:7, Amsal 21:1).

  7. Kita terus menjalankan misi GARAM dan TERANG DUNIA. (Matius 5:13,14).

GEREJA HARUS MEMBERKATI

The Problem with Every Government” : Sin.3

Kembali saya kutip Joel C. Hunter. Mengapa masalah Pemerintah yang klasik dan kronis adalah korupsi dan nepotisme. Jawabannya, karena manusia yang jadi pemerintah, yang jadi militer atau polisi, yang jadi pejabat, yang jadi anggota DPR/DPRD, atau yang anggota MPR, atau jaksa dan hakim, adalah manusia-manusia yang berdaging-darah dan tak luput dari godaan dosa dan hawa nafsu. Manusia berdosa pada dasarnya adalah korup.

Kita jangan terlalu berlebihan mengharap bahwa pemerintah Indonesia Pasca Pemilu 2004, pasti akan membawa negeri dan bangsa kita kepada keadilan dan kesejahteraan. Transformasi Indonesia adalah melalui jalan pertobatan yang terus menerus.

Dunia kita, termasuk Indonesia, merupakan arena petualangan Iblis. (I Yohanes 5:19, Efesus 6:10-12). Kita akan terus berada dalam suasana spiritual warfare. Dalam alam peperangan rohani, kita bukan berhadapan dengan manusia-manusia yang hanya merupakan pion-pion tetapi berkonfrontasi dengan “penghulu-penghulu dunia yang gelap”.

Karena itu misi gereja dalam Indonesia Baru di abad XXI sebagai garam dan terang dunia harus lebih pro-aktif. Pelecehan dan sikap arogansi dan diskriminatif terhadap orang-orang Kristen bahkan tak mungkin akan lebih parah lagi dari waktu yang lalu. Tetapi kita harus yakin bahwa Tuhan memegang kendali sejarah.

Sebagai garam, dalam sikap low profile kita merembes kemana-mana, melarut ke segala strata dan segmen. Apapun dan bagaimanapun sikonnya.

Dan selaku terang, performansi gereja harus kelihatan. Kita harus high profile. Kesaksian dan penginjilan kita tidak perlu sembunyi-sembunyi. Berita Injil di Indonesia harus lebih gencar di zaman pasca Pemilu 2004. Untuk mengurangi problema bangsa dan negara akibat ulah manusia berdosa yang didalangi Iblis, kita harus tegar dan juga arif memperkenalkan Kristus sebagai Juruselamatnya manusia berdosa. Nabi Yesaya bernubuat, di  kala kegelapan dan kekelaman menudungi bangsa, di saat itu pula terang Tuhan terbit atas umat-Nya. (Yesaya 60:1-2).

Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu,…………………..
Segala kambing domba Kedar akan berhimpu kepadamu,
Domba-domba jantan Nebayot akan tersedia untuk ibadahmu;
(Yesaya 60:3,7)

Firman Tuhan sangat profetik untuk umat Allah di Indonesia.

Gereja yang bersatu bersaksi dan melayani haruslah solid dalam bersekutu. Kalau tidak, sulit untuk gereja di Indonesia menjadi sarana transformasi Indonesia.

Gereja harus terbeban secara terus menerus untuk menaikkan doa syafaat bagi pemerintah, bagi bangsa dan negara, bagi masyarakat Inonesia. Umat Kritiani tentu ingin lebih diberkati, untuk itu peran kita haruslah : lebih memberkati ! (I Petrus 3:9). Kita wajib memberkati bangsa, masyarakat dan pemerintah kita, karena itulah panggilan kita, bukan membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki; supaya kita memperoleh berkat.

Kita harus mampu tampil dengan kuasa KASIH.

Kita harus menjadi berkat bagi bangsa, rakyat dan negara Indonesia.

Tidak seorangpun di antara kita dapat memprediksi situasi dunia pada tahun 2004 dan sesudahnya. Tetapi nubuatan Alkitab tidak pernah meleset. Hanya kita yang menafsirkannya macam-macam.

Charles H. Dyer menulis dalam bukunya World News and Bible Prophecy, sebagai berikut :

“The Bible does predict the future, but one mayor stumbling block for some seems to be the multitude of different  interpretation for end-time events”. 4  

Menyimak tanda-tanda zaman, kita sadar bahwa kita hidup dalam suatu zaman yang mutakhir, tetapi karena penafsiran yang sangat beragam, kita menjadi enggan menyimak serius nubuatan Firman untuk zaman ini.  

Sikap dan peran gereja di Indonesia, saya imbau berpedoman kepada misi dan berkat Abraham :

Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur, dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. (Kejadian 12:2-3).

Semoga Tuhan Yesus Kristus memberkati kita semua, memberkati Gereja-Nya , memberkati Indonesia.


1.            Hal Lindsey, “THERE’S A NEW WORLD COMING”, Harvest House Publishers.

2.            Carl F.H. Henry, “Aspeets of Christian Social Ethies”, William B. Eerdmanus Publishing Company.

3.            Joel C. Hunter, “PRAYER, POLITICS & POWER”, Tyndale House Publishers, Inc.

4.            Charles H. Dyer, “World News and Bible Propechy”, Tyndale House Publishers, Inc.


GPdI Maranatha Medan